Secara bahasa, riba bermakna ziyadah atau “bertambah”. Bertambah yang dimaksud disini adalah bertambah dari harta pokoknya, baik pertambahannya sedikit maupun banyak.
Imam Sarakhzi mendefinisikan riba sebagai tambahan yang dipersyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (‘iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti (‘iwad) yang dibenarkan syariah adalah riba. Hal yang dimaksud transaksi pengganti atau penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan secara adil, seperti jual beli, sewa – menyewa, atau bagi hasil proyek, dimana dalam transaksi tersebut ada faktor penyeimbang berupa ikhtiar atau usaha, risiko dan biaya. (Antonio, 1999).
Menurut ijmak konsesus para ahli fikih, bunga termasuk riba karena riba memiliki persamaan makna dan kepentingan dengan bunga (interest). (Ascarya, 2007). Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan fatwa no. 1 tahun 2004 yang menyatakan bahwa bunga (interest) yang dikenakan dalam transaksi pinjaman (al-qardh) atau utang – piutang (al-dayn), baik yang dilakukan oleh lembaga keuangan, individu maupun lainnya hukumnya adalah haram.
Dengan demikian jika memberikan pinjaman uang kepada orang lain, kita dilarang meminta atau menentukan imbalan keuntungan atas pinjaman yang diberikan, karena itu adalah riba.
Jenis Riba
1. Riba Nasi’ah
Riba Nasi’ah adalah riba yang muncul karena utang – piutang. Riba Nasi’ah dapat terjadi dalam segala jenis transaksi kredit atau utang – piutang dimana salah satu pihak harus membayar lebih besar dari pokok pinjamannya. Kelebihan dari pokok pinjamannya dengan nama apapun (bunga, interest, bagi hasil), dihitung dengan cara apapun (fix rate atau floating rate), besar atau kecil semuanya ini tergolong riba.
Kelebihan tersebut dapat berupa suatu tambahan atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang. Misalnya : bank sebagai kreditur memberikan pinjaman dan mensyaratkan pembayaran bunga yang besarnya ditentukan terlebih dahulu di awal transaksi (sebagai kelebihan dari pokok pinjamannya), bunga inilah yang termasuk dalam jenis riba nasi’ah. Demikian juga bunga yang dibayarkan bank atas deposito atau tabungan nasabahnya adalah riba.
Contoh :
Seseorang meminjam uang dari bank sebesar Rp 30.000.000. sebagai modal usaha namun pihak bank mensyaratkan penambahan pembayaran sebesar 10 persen dari total pinjaman. Sehingga ia harus membayar sebesar Rp 33.000.000. pada waktu jatuh tempo. Selisih pembayaran Rp 3.000.000. adalah riba.
Selain itu, kelebihan tersebut dapat berupa suatu tambahan yang melebihi pokok pinjamannya karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditentukan. Atas kelebihannya ada yang menyebutnya riba jahiliyyah. Misalnya : pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya atau tidak dibayar pada waktu yang ditetapkan atau denda atas utang yang tidak dibayar tepat waktu.
2. Riba Fadhl
Riba Fadhl adalah riba yang muncul karena transaksi pertukaran atau barter. Riba fadhl dapat terjadi apabila ada kelebihan atau penambahan pada salah satu dari barang ribawi atau barang sejenis yang dipertukarkan. Baik pertukaran dilakukan tunai (dari tangan ke tangan) atau kredit. Contoh : menukar perhiasan perak seberat 80 gram dengan uang perak (dirham) senilai 6 gram. Selain itu riba fadhl juga dapat terjadi dari pertukaran barang tidak sejenis yang dilakukan tidak tunai. Contoh : transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).
Yang dimaksud dengan barang ribawi atau barang sejenis adalah barang yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan satu sama lainnya. Sebagaimana yang tertuang dalam teks hadits terdapat 7 (tujuh) macam barang ribawi yaitu : emas, perak, jenis gandum, kurma, zabib atau tepung, anggur kering dan garam.
Namun para ahli fikih berbeda pendapat atas barang sejenis. Mahzab hanafi dan hambali memperluas konsep benda ribawi pada benda yang dapat dihitung melalui satuan timbangan atau takaran; Mahzab syafi’i memperluas pada mata uang (al-naqd) dan makanan (al-ma’thum). Mahzab maliki memperluas konsep benda ribawi pada mata uang dan sifat al-iqtiyat (jenis makanan yang menguatkan badan) dan al-iddihar (jenis makanan yang dapat disimpan lama).
Pertukaran barang sejenis dapat mengandung ketidakjelasan (gharar) bagi kedua belah pihak yang bertransaksi atas nilai masing – masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat merugikan salah satu pihak sehingga ketentuan syariah mengatur kalaupun barang tersebut akan dipertukarkan, maka harus dalam jumlah yang sama. Namun jika salah satu pihak tetap tidak mau menerima pertukaran dalam jumlah yang sama karena menganggap mutunya berbeda maka jalan keluarnya adalah barang yang dimilikinya dijual terlebih dahulu kemudian uang yang didapat digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan.
Sedangkan pertukaran barang non-ribawi dimungkinkan dalam jumlah yang berbeda asalkan penyerahannya tunai (dari tangan ke tangan) atau tidak ditunda.
Pengaruh riba pada kehidupan manusia
Imam Razi menjelaskan mengapa bunga dilarang dalam Islam (Qardhawi, 2000). Yaitu sebagai berikut :
1. riba merupakan transaksi yang tidak adil dan mengakibatkan peminjam jatuh miskin karena dieksploitasi, karena riba mengambil harta orang lain tanpa imbalan. Hal ini seperti seseorang yang menjual senilai satu rupiah tetapi mendapat bayaran dua rupiah. Berarti dia mendapat tambahan satu rupiah tanpa pengorbanan. Sedangkan harta seseorang merupakan hak miliknya yang sudah seharusnya dihormati atau dihargai.
2. riba akan menghalangi orang untuk melakukan usaha karena pemilik dana dapat menambah hartanya dengan transaksi riba baik secara tunai maupun berjangka. Sehingga pemilik harta riba akan meremehkan persoalan mencari penghidupan dia tidak mau menanggung risiko berusaha, berdagang dan pekerjaan – pekerjaan yang berat. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya manfaat bagi masyarakat. Padahal telah diketahui bersama bahwa kemaslahatan dunia tidak akan dapat terwujud tanpa adanya perdagangan, keterampilan, perusahaan dan pembangunan.
3. riba akan menyebabkan terputusnya hubungan baik antar masyarakat dalam bidang pinjam – meminjam. Jika riba diharamkan, setiap orang akan merasa rela meminjamkan uang satu rupiah dan mendapat pengembalian sebesar satu rupiah. Sedangkan jika riba dihalalkan, orang yang memiliki kebutuhan mendesak akan mendapatkan uang satu rupiah dan mengembalikan sebesar dua rupiah. Hal ini akan menyebabkan hilangnya perasaan belah kasihan dan kebajikan.
4. pada umumnya orang yang memberi pinjaman adalah orang kaya sedangkan yang meminjam adalah orang miskin. Pendapat yang membolehkan riba berarti memberikan jalan bagi orang kaya untuk menerima tambahan harta dari orang miskin yang lemah. Sehingga orang kaya bertambah kaya dan orang miskin bertambah miskin. Padahal tindakan demikian tidak diperbolehkan menurut nilai kasih sayang dari Allah yang maha penyayang.
Larangan terlibat dalam transaksi yang terdapat unsur riba
Di dalam alqur’an, larangan riba tertulis jelas dalam beberapa tahapan. Mulai dari ayat yang sifatnya peringatan bahwa pada hakikatnya riba tidak menambah kebaikan disisi Allah (QS 30:39), ayat yang memberikan contoh pelajaran orang yahudi pelaku riba yang di siksa Allah (QS 4:161), ayat yang menetapkan dengan jelas bahwa transaksi riba yang berlipat ganda dilarang Allah (QS 3:130), sampai akhirnya ayat yang menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa semua praktik riba dilarang oleh Allah (QS 2:278-280). Yaitu :
“Hai orang – orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman.”
“Maka jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rosul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak pula dizalimi (dirugikan).”
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
(QS 2:278-280)
Dalam al-qur’an, Allah swt dengan tegas dan jelas melarang (haram) semua praktik riba, seberapapun besar kecilnya tambahan yang diberikan karena Allah swt hanya membolehkan pengembalian sebesar pokoknya saja. Rasulullah saw pun dalam suatu hadits bersabda sebagai berikut :
Jabir berkata “bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima riba, orang yang membayarnya, orang yang mencatatnya dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, mereka itu sama (melakukan riba).” (HR. Muslim, 3/1598).
Jadi berdasarkan alqur’an dan hadits diatas, Allah swt dan Rasulullah saw tidak menyukai semua pihak yang turut serta dalam akad riba, yaitu orang yang mengambil utang dengan riba, orang yang memberi utang dengan riba, penulis yang mencatat transaksi riba dan saksi – saksi dalam akad riba tersebut.
Konsekuensi atas orang – orang yang terlibat dalam praktik riba adalah mereka melakukan dosa besar. Sedemikian besar daya rusak riba, sampai – sampai ada satu hadits riwayat al-hakim dari ibnu mas’ud, bahwa rasulullah saw bersabda :
“Riba itu mempunyai 73 pintu (tingkatan), yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang melakukan zina dengan ibunya.”
Allah swt melarang kita memakan harta yang dihasilkan dari riba, pada hari akhir kelak, Allah swt akan menyiksa orang – orang yang memakan harta riba dengan siksa yang pedih.
Sebagai seorang muslim tentu kita harus menaati perintah Allah dan menjauhi larangannya, oleh karena itu jauhilah riba dalam berbagai transaksi ekonomi. Namun jika kita telah terlanjur terikat dengan sebuah transaksi yang disertai riba maka lakukanlah hal berikut ini :
1. jika kita adalah orang yang memberikan pinjaman kepada seseorang atau institusi dengan akad riba, maka ambillah sejumlah uang senilai jumlah asli pinjamannya saja dan jangan mengambil bunga pinjamannya. Kemudian jangan pernah mengulangi memberikan pinjaman dengan unsur riba di dalamnya.
2. jika kita merupakan orang yang meminjam dan harus membayar utang beserta bunganya, lihatlah kemungkinan untuk membatalkan transaksi tersebut. jika mungkin dibatalkan kita wajib membatalkannya.
3. jika transaksi tersebut tidak mungkin dibatalkan dan telah terikat kontrak dengannya, maka tunaikanlah transaksi itu sampai tuntas dan jangan pernah mengulangi bertransaksi yang disertai riba.
Demikian reader bankjim, artikel tentang riba dan pengaruhnya bagi kehidupan manusia, semoga kita semua diberikan keimanan untuk menjalankan perintah Allah swt dan menjauhi segala larangannya. Semoga juga kita dijauhkan dari berbagai aktivitas transaksi yang mengandung unsur riba. Amin.
Daftar Pustaka
Ahmad Hatta, Abas Mansur Tamam dan Ahmad Syahirul Alim. 2014. Bimbingan Islam untuk Hidup Muslim: Petunjuk Praktis Menjadi Muslim Seutuhnya dari Lahir sampai Mati Berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta: Maghfirah Pustaka
Antonio dan Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Kerja sama BI dan Tazkia Institute.
Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 2000. Halal dan Haram. Jakarta: Robbani Press.
Sri Nurhayati dan Wasilah, 2017. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat
0 komentar:
Posting Komentar